Setelah melewati begitu sering peristiwa demi peristiwa perhelatan demokrasi, akankah perilaku kaum pemilih spesialis "penerima money politics" jauh berkurang? Saya pastikan tidak. Malah justru kian sengit.
Sekali waktu di suatu tempat, barangkali kita pernah menemukan pesta demokrasi yang berhasil memenangkan seorang kandidat dengan "full hati nurani." Tapi itu sangat jarang. Bisa dihitung jari. Para spesialis penerima serangan fajar bahkan serangan sore pun tidak akan rela menghitung jari jika terkait fulus. Kalau perlu nominal yang diterima harus melebihi hitungan jarinya berpuluh kali lipat.
Ada kabar Kopel Bulukumba menggagas Koalisi Kawal Pilkada. Tentu saja itu sangat bagus. Patut didukung oleh semua pihak. Yang diam-diam alias tidak mendukung pasti hanya dua jenis makhluk ini: pemberi money politics dan penikmat money politics.
Uang memang nikmat. Lezat tiada tara. Apalagi jika hanya bisa dihabiskan dalam hitungan jam. Tidak cukup sehari. Lima tahun periode kekuasaan itu setimpal dengan harga kerupuk yang dinikmati oleh kaum "money mania".
Mau bicara soal akhlak? Para da'i setiap hari menyirami mereka dengan tauziah setiap ada seorang warga meninggal dunia. Setiap pekan pun dalam jumatan, para penikmat money politics toh selalu nampak "khusyuk" mendengarkan khutbah.
Keteladanan yang hilang? Bisa jadi. Kalau satu kubu kandidat "menghamburkan amunisi" maka biasanya kandidat lain yang sejatinya ogah "menghambur" mau tak mau juga terpaksa "menanggalkan akhlak mulianya." Pernahkah kita menemukan atau setidaknya mendengar dongeng tentang seorang kandidat yang keukeuh tidak mau ikut-ikutan menyirami pemilih dengan money politics? Jika ya, saya pastikan itu masuk kategori fiksi.
Lalu seberapa besar Anda mempercayai kandidat jagoan Anda? Dia mungkin ideal namun ketahuilah bahwa dia tidak sendirian. Terlalu banyak orang-orang berkepentingan di sekitarnya yang siap melakukan apa saja untuk memenangkannya. Namun tetaplah mempercayai jagoan Anda. Dia membutuhkan kepercayaan dari Anda agar Anda bisa tetap yakin melangkahkan kaki ke TPS dan melakukan pekerjaan kecil berdampak besar itu, mencoblos wajahnya. Kalau perlu Anda harus mencolok matanya agar benar-benar yakin!
Seorang pakar bahkan percaya, pilkada lebih kerap menghasilkan pemerintahan daerah yang tidak kongruen karena dimulai dari keterpaksaan parpol-parpol menggalang koalisi sebelum pilkada, para pemodal berpencar mengincar jagoan masing-masing yang dipandang bisa diajak berkerjasama setidaknya lima tahun. Ada deal-deal yang harus menjadi rahasia bawah tanah sebelum deklarasi benar-benar dipublikasikan. Jadilah sisi-sisi sebangun yang dalam geometri menyebalkan itu kita bisa memandangnya sebagai hasil produk abstrak. Fiksi.
Sementara itu non fiksi hanya terletak di rak-rak buku, di wilayah akademik, di ruang-ruang termanis pencinta literasi, dan semacamnya. Lantas bagaimana cara menghentikan tradisi memuakkan itu? Yakin saja, tidak seorang pun pakar yang tahu cara apa yang paling ampuh membasmi money politics.
Pengawasan ketat dan melekat? Itu hanya upaya untuk meminimalisir. Pengawas, pemantau, penyelenggara, bahkan para aparat adalah juga manusia biasa. Barangkali sudah saatnya kita mulai berpikir tentang sistem yang baru. Sebuah sistem di mana partai politik tidak perlu ada. Supaya tradisi politik transaksional yang dimulai dari elit itu bisa diputus mata rantainya.
Kita masih terlalu percaya sistem demokrasi yang dicangkokkan Barat bahwa kesejahteraan rakyat dapat dimulai dari proses hitung menghitung suara. Kita masih saja tidak percaya kepada warisan para ulama dan founding fathers bahwa Sila Ke 4 dalam Pancasila itu berisi rahasia warisan besar pemikiran tentang metode memilih pemimpin dan wakil secara bil hikmah.
Di hari-hari ini, memangnya siapa lagi yang mau peduli sila-sila? Lima sila saja masih ada yang berjuang memerasnya menjadi satu sila. Untung saja mayoritas rakyat tidak bilang: "silakan."(*)
Kedai Kopi Litera, 19 Agustus 2020