Apa yang bisa dibanggakan dari sebuah "bangkai?" Mr. Takada Otake sebagai lurah berhasil menjawabnya, "sejarahnya." Saya menukas, "Ya, itu benar sekali. Sejarahnya. Tapi sejarah yang busuknya menyengat sampai hari ini. Walaupun yang terkait langsung dengan bangkai berusaha menutupi baunya dengan segalon parfum namun baunya tetap menyengat!"
Mr. Takada diam saja. Saya tetap nyerocos, "Dengar-dengar ibukota kecamatan akan dipindahkan?"
Mr. Takada menyahut, "Ya betul. Saya mau memproduksi lagi bangkai di sana."
Saya pikir Mr. Takada berhak untuk percaya diri selaku lurah. Dia punya segalanya. Mulai kebanggaan terhadap kuda bertanduk satu, jalan bebas hambatan, kereta bawah tanah, hingga tambang emas terbesar.
Kuda bertanduk satu dibangun oleh warga tetapi kemudian dia besar secara instan oleh suntikan kapitalis mancanegara. Jalan bebas hambatan ribuan kilometer tapi itu lahan bisnis para pemodal raksasa. Bukan milik warga. Siapapun wajib membayar tinggi untuk melewatinya. Satu lagi, wajib memiliki mobil untuk melewatinya. Punya kereta bawah tanah tapi itu hutang yang menggunung. Butuh dua abad untuk melunasinya. Punya tambang emas terbesar. Tapi yang mengeruk kekayaannya bukan warga setempat. Justru warga yang menanggung beragam pajak berganda.
Mr. Takada tetap tidak mau ambil pusing. Wajar saja, bukankah boneka tidak memerlukan otak? Makanya dia bernama Takada, tak ada, tidak pernah ada, kalaupun ada maka sejarah kelurahan mencatatnya sebagai bangkai.(*)
Pelajaran moral: bangkai terbaik adalah bangkai bus sebab bisa dijadikan hotel gratis meskipun kita harus bawa sendiri obat anti nyamuk.